Sabtu, 16 Januari 2010

Pemanfaatan Jamur Entomopatogen Synnematium sp. dan Beuveria bassiana untuk Mengendalikan Wereng Pucuk (Sanurus indecora Jacobi) dan Kepik Penghisap (Helopeltis antonii) Pada Tanaman Jambu Mete (Anacardium occidentale).

Agus Zumrotul Arifin

Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran



1.1 Latar Belakang

Jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi dan sebagai sumber devisa. Salah satu kendala peningkatan produksi jambu mete adalah serangan hama dan penyakit. Salah satu hama penting pada tanaman jambu mete adalah wereng pucuk (Sanurus indecora) dan kepik penghisap (Helopeltis antonii). Serangan S. indecora dapat menyebabkan kehilangan hasil 57,83 % (Tri Lestari Mardiningsih, 2007). Sedangkan serangan yang disebabkan oleh H. antonii sekitar 43,27-67,4% (Tri Eko Wahyono, 2006). Pengendalian S. indecora dan H. antonii dapat dilakukan secara fisik/ mekanis serta pengendalian biologi dengan memanfaatkan jamur entomopatogen Synnematium sp. Sebagai pengendali S. indecora dan jamur entomopatogen B. bassiana sebagai pengendali H. antonii. Pengendalian dengan menggunakan musuh alami sangat prospektif dikembangkan karena ramah lingkungan. Pengendalian dengan insektisida sintetis juga efektif, tetapi penggunaannya harus bijaksana agar tidak menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran lingkungan, resistensi dan resurjensi hama sasaran, terbunuhnya musuh alami, dan keracunan bagi petani.

Dengan demikian, pengendalian hama jambu mete dianjurkan secara terpadu dengan memanfaatkan berbagai komponen pengendalian yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan menggunakan cendawan Synnematium sp. dan B. bassiana yang tersedia di alam.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memanfaatkan penggunaan musuh alami yang diantaranya adalah jamur entomopatogen Synnematium sp. dan B. bassiana dalam mengendalikan hama penting pada tanaman jambu mete. Penggunaan jamur entomopatogen adalah bagian dari konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang menjadi program pemerintah, penggunaan jamur entomopatogen ini dipilih sebagai upaya untuk menanggulangi adanya sifat resistensi yang diakibatkan oleh penggunanan pestisida sintetik, sifat resinten berarti meningkatkan daya tahan yang di sebabkan oleh serangga hama yang tahan (tidak mati) pada saat penyemprotan insektisida.

Pengendalian dengan menggunakan jamur entomopatogen ini juga betujuan untuk menghasilkan buah jambu mete yang bebas residu pestisida sintetik karena pengendalian hamanya menggunakan musuh alami.

Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya konsep Pengendaliah Hama Terpadu dengan menggunakan jamur entomopathogen ini dapat menjadi pengendalian hama yang paling efektif dan efisien dalam mengendalikan hama penting tanaman jambu mete.

II. PEMBAHASAN

2.1 Hama Penting Tanaman Jambu Mete

2.1.1 Kepik Pengisap (Helopeltis antonii)

Kepik pengisap atau Helopeltis sp. termasuk hama penting pada tanaman

jambu mete, dia menyerang pucuk muda, tunas, bunga, biji, buah dan daun. Kepik ini mengisap cairan tumbuhan dengan menusuk, tanaman menjadi coklat di tempat tusukan. Disamping jambu mete, hama ini juga memakan banyak tanaman

lain, diantaranya: teh, kakao, lamtoro, alpokat, mangga, dadap, ubi jalar, dll.

Serangan yang berat pada tunas dapat menyebabkan pucuk layu dan mati.

Bunga yang terserang berubah menjadi hitam dan mati. Biasanya jumlah kepik pengisap paling tinggi di kebun jambu mete pada akhir musim hujan (Deptan, 2001).

Menurut Borror dkk, (1992) klasifikasi Helopetis antonii adalah :

Kingdom : Animalia

Phillum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Hemiptera

Famili : Miridae

Genus : Helopeltis

Spesies : Helopeltis antonii

Di pembibitan, nimfa instar pertama dan kedua pertama-tama menyerang daun muda kemudian pucuk. Gejala serangan ditandai dengan adanya bercak-bercak transparan berbentuk elips di sepanjang tepi tulang daun dan bentuk segi empat pada helai daun. Bercak tersebut pada hari berikutnya berubah menjadi cokelat. Serangan yang berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Larva instar ketiga menyerang tunas kemudian ke bagian batang. Gejala serangan ditandai dengan adanya bercak cokelat tua berbentuk elips. Serangan nimfa pada bibit yang berumur 2-3 bulan menyebabkan pertumbuhan bibit terhambat (Wiratno et al. 1996).

Nimfa instar keempat dan kelima mengisap cairan pucuk lebih banyak dibanding serangga dewasa. Nimfa instar kelima dan serangga betina lebih berpotensi menimbulkan kerusakan dibanding nimfa instar pertama, kedua, ketiga, keempat dan serangga jantan (Atmadja 1999), nimfa H. antonii terutama menyerang bagian tengah dan bawah tajuk tanaman.

Serangga dewasa mula-mula menyerang daun muda, kemudian berlanjut ke bagian batang yang muda. Gejala serangan ditandai dengan timbulnya bercak cokelat tua berukuran 8-10 mm. Serangan berat pada pucuk menyebabkan pucuk mati sehingga mempengaruhi pembungaan. Bila seranngan terjadi pada saat pertumbuhan tanaman memasuki fase generatif, pucuk tidak dapat menghsilkan tangkai bunga.

Selain menyerang pucuk, daun muda dan bunga, H. antonii juga menyerang buah semu. Serangan pada buah semu yang berumur lebih dari 5 minggu menyebabkan pertumbuhan buah tidak normal. Bila seranga terjadi pada buah yang berumur kurang dari empat minggu, buah akan mengering, berwarna hitam kemudian gugur (Wiratno et al. 1996).

Menurut Nair et al. (1979) dan Ohler (1979), H. antonii menyerang daun, cabang bunga, gelondong, dan buah semu jambu mete. Daun yang terserang terhambat pertumbuhannya dan menjadi kering. Serangan pada bunga menyebabkan kegagalan pembuahan. Buah semu yang terserang berwarna cokelat tua akhirnya mengering dan gugur.

Berdsarkan hasil penelitian Karmawati et al. (1999), imago H. antonii memberikan kontribusi terhadap kerusakan pada bagian atas tajuk tanaman.




Daur hidup

Telur berwarna putih krem berbentuk lonjong. Diletakkan pada pucuk daun dan jaringan muda yang masih lunak. Nimfa ganti kulit lima kali. Dewasa mampu bertelur hingga 200 butir. Waktu makannya biasanya pagi dan sore. Kehidupannya juga terpengaruh cahaya, sehingga bila terlalu terang dan panas, nimfa muda akan pergi ke pupus dan dewasanya ke sela-sela daun yang berada di sebelah dalam, lebih menyukai tempat yang gelap (Deptan, 2001).

2.1.2 Wereng Pucuk (Sanurus indecora)

Menurut Borror dkk, (1992) klasifikasi Sanurus indecora adalah :

Kingdom : Animalia

Phillum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Homoptera

Famili : Flatidae

Genus : Sanurus

Spesies : Sanurus indecora

Siklus hidup adalah waktu yang diperlukan serangga untuk berkembang mulai dari telur diletakkan hingga menjadi dewasa dan bertelur. Siklus hidup S. Indecora belum diketahui karena dalam penelitian, serangga dewasa (imago) umumnya telah mati sebelum meletakkan telur. Imago S. indecora menyerupai kupu-kupu. Tubuh dan tungkai berwarna kuning pucat, sedangkan warna kepala dan sayap bervariasi, yaitu putih, hijau pucat atau putih kemerahan. Pada kepala terdapat sepasang mata majemuk berwarna coklat gelap. Panjang dari ujung kepala sampai ujung sayap sekitar 8−10 mm dan lebar sayap 3−4 mm.


Saat hinggap, sayap menutup tubuh dengan posisi tegak ke bawah (Gambar 4). Pada tegmen (sayap depan) kadang-kadang terlihat garis merah di sepanjang tepinya. Tegmen, postclaval membentuk sudut tegak lurus.Venasi tegmen banyak cross veins, vena anal membentuk huruf Y pada bagian ujung. Tibia tungkai belakang hanya mempunyai satu spina lateral. Carina pada frons 1 berbentuk U dan 1 membujur di tengah (Siswanto et al. 2003). Periode imago berlangsung 5−6 hari (Mardiningsih et al. 2004).

Telur S. indecora diletakkan secara berkelompok 30−80 butir pada permukaan bawah daun, tangkai daun, dan atau tangkai pucuk, ditutupi lapisan lilin berwarna putih atau kuning. Periode telur berlangsung 6−7 hari (Siswanto et al. 2003; Mardiningsih et al. 2004). Telur berwarna putih, lalu berubah menjadi coklat menjelang menetas. Telur berbentuk oval, panjang 0,95−1,09 mm dan lebar 0, 37−0,47 mm.

Menurut Siswanto et al. (2003), berbeda dengan S. indecora, telur L. candida diletakkan berderet memanjang 2−6 baris dan tidak tertutup lapisan lilin. Nimfa berwarna krem dan tertutup tepung lilin berwarna putih, jika dipegang terasa lengket.

Nimfa dan imago tidak aktif bergerak, hanya meloncat atau terbang dekat bila terganggu. Kepadatan populasi pada satu karangan bunga mencapai 80 ekor atau lebih (Siswanto et al. 2003). Periode nimfa berlangsung 42−49 hari (Mardiningsih et al. 2004). Di Kayangan, Lombok Barat, S. indecora indecora mulai menyerang tanaman jambu mete pada awal musim kemarau (bulan Mei) dan makin meningkat pada saat tanaman memasuki fase generatif. Pada musim berbunga, serangga biasanya menutupi tangkai bunga. Puncak populasi hama terjadi pada bulan Juli dan Agustus, saat tanaman mulai berbunga dan berbuah. Populasi menurun pada bulan Oktober bersamaan dengan berakhirnya fase generatif.

Walaupun populasi hama ini rendah, bekas keberadaannya mudah dikenali dengan adanya embun jelaga pada permukaan daun bagian atas serta lapisan lilin dan kulit nimfa (eksuvia) yang ditinggalkan pada waktu nimfa berganti kulit (Wiratno dan Siswanto 2002).

Selain faktor lingkungan (musim kemarau), ketersediaan makanan dan musuh alami terutama parasitoid telur (Aphanomerus sp.) sangat mempengaruhi perkembangan populasi hama tersebut (Siswanto et al. 2002).

Menurut Rahardjo (2006), populasi S. indecora di daerah pantai, dataran, dan perbukitan menunjukkan bahwa populasi terbanyak ditemukan pada tumpang sari antara jambu mete dengan kacang, kemudian diikuti tumpang sari jambu mete dengan padi, serta monokultur (jambu mete saja). Di pantai, dataran, maupun

perbukitan pada pengamatan awal bulan Februari 2004, S. indecora muncul dengan populasi berkisar 2−10%. Selanjutnya pada bulan Maret, April, dan Mei, populasi meningkat dan setelah itu bervariasi, bergantung pada topografi dan pola usaha tani.

Daur hidup

Telur diletakkan secara berkelompok pada daun jambu mete oleh wereng betina. Setelah menetas, nimfa mengisap cairan dari daun jambu mete. Nimfa ganti kulit beberapa kali, terakhir kali dia menjadi dewasa bersayap (Deptan, 2001).

2.2 Pemanfaatan jamur entomopatogen

2.2.1 Pemanfaatan Synnematium sp. untuk mengendalikan Sannurus indecora

Jamur Synnematium sp. cukup efektif membunuh dewasa wereng putih jambu mete (sanurus), Jamur ini juga membunuh telur wereng tersebut. Jamur Synnematium ditandai dengan tumbuhnya benang-benang miselium jamur yang berwarna cokelat pada bagian tubuh wereng yang sekaligus menempel pada tempat dia berada. Walaupun ada angin yang bertiup cukup kencang namun wereng putih yang mati tersebut tetap masih menempel pada tanaman. Selain menyerang dewasa wereng putih, jamur ini juga dapat menyerang kelompok telur wereng, sehingga telur tersebut tidak dapat menetas dan sekaligus menjadi sumber untuk patogen ini menyerang lebih banyak wereng lagi. Jika menemukan wereng putih jambu mete yang terserang jamur Synnematium, biarkan saja di pohon, sehingga jamur tersebut akan menyebar dan membunuh lebih banyak wereng.

Cara pengendalian S. indecora yang prospektif untuk dikembangkan ialah dengan menggunakan cendawan Synnematium sp. Cendawan ini pertama kali ditemukan menginfeksi S. indecora, sehingga spesifik untuk S. indecora. Selain itu, cendawan ini mudah dibiakkan di laboratorium pada media Potato Dextrose Agar (PDA) lalu dilanjutkan pada media beras/jagung. Karena berasal dari alam maka pengendalian dengan cendawan ini ramah lingkungan. Selain itu, S.indecora tersedia di lapang. Cendawan Synnematium sp. Pertama kali ditemukan menyerang telur dan imago S. indecora. Serangga yang mati terinfeksi akan tertutup massa cendawan berwarna cokelat, dan umumnya tetap menempel pada daun atau tunas tanaman. Di NTB, serangan cendawan ini ditemukan di Desa Kembang Kuning, Kecamatan Narmada, Lombok Timur (Purnayasa 2001).

Berdasarkan identifikasi Cooke (1978) dalam Wikardi et al. (2001), cendawan Synnematium sp. (belum diketahui spesiesnya) termasuk ke dalam grup simbiosis antagonis fakultatif.

Cendawan ini hidup dengan bersimbiosis (nektrotropik) dan dapat berkembang dengan baik pada saat bebas (saprofit). Menurut Aquino (1987), Synnematium sp. umumnya bersifat saprofit dan kontaminan laboratorium. Menurut Barnett dan Hunter (1972), Synnematium sp. memiliki ciri synnemata sederhana atau bercabang, coklat ketika matang, phialid sebagian besar pada ujung cabang, ramping, menyempit ke ujung yang runcing, konidia hialin sampai coklat pucat, ditutupi mukus, beberapa spora bersatu dalam kelompok, sklerotia bulat, menjadi coklat dengan sel yang berdinding tebal, dan bersifat parasit pada serangga. Cendawan Hirsutella citriformis juga berhasil diidentifikasi dari imago S. indecora yang menunjukkan gejala serupa dengan Synnematium sp. (Wahyuno et al. 2003). Cendawan H. citriformis juga ditemukan pada Diaphorina citri (Homoptera: Psyllidae) pada tanaman jeruk di Klaten, Jawa Tengah (Subandiyah et al. 2000 dalam Siswanto et al. 2003).

Purnayasa (2004) juga menemukan Diaphorina sp. (vektor penyakit CVPD) pada tanaman jeruk yang terserang cendawan Synnematium sp. Cendawan dapat tumbuh baik pada media PDA. Uji patogenisitas di laboratorium menunjukkan dalam waktu 5 hari 10 ekor Diaphorina sp. yang diuji semuanya mati dan pada hari ketujuh ditumbuhi cendawan Synnematium sp. Pengolesan suspensi cendawan Synnematium sp. pada tubuh serangga dewasa menyebabkan kematian hingga 100% pada hari ke-11, sedangkan pengolesan suspensi cendawan pada inang (makanan) menyebabkan kematian sampai 100% pada hari ke-9. Pengolesan suspensi cendawan pada tubuh serangga dewasa dan inang (makanan) menyebabkan kematian sampai 100% pada hari ke-8. Pada penelitian semilapang, pengendalian S. indecora dengan Synnematium sp. konsentrasi 20, 30, dan 40 g/l yang diaplikasikan pada telur, nimfa, imago, serta bibit, menyebabkan kematian nimfa hingga 9,83 ekor (dari rata-rata 10 ekor). Pada konsentrasi 20 g/l, rata-rata telur, nimfa, dan imago yang terserang Synnematium sp. berturut-turut 8,83; 9,83; dan 8,83 ekor (dari rata-rata 10 ekor) (Mardiningsih et al. 2006).

Dalam penelitian di lapang, Synnematium sp. konsentrasi 20 g/l atau setara dengan konsentrasi spora 1,64 x 108 efektif menekan populasi S. indecora hingga 23,86%. Untuk penyemprotan di lapang, cendawan dalam media jagung atau beras dihancurkan, lalu ditempatkan dalam wadah yang berisi air, kemudian disaring dan dimasukkan ke dalam alat semprot. Penyemprotan dilakukan pada sore hari atau menjelang malam agar cendawan memiliki kesempatan yang lebih lama untuk berkembang sebelum terkena cahaya matahari keesokan harinya. Synnematium sp. yang digunakan adalah yang sudah diperbarui. Cendawan sejenis yaitu Synnematium jonesii diketahui menginfeksi Udonga montana (Hemiptera: Pentatomidae), kepik penyengat pada tanaman kopi di India. Di Amerika, Synnematium juga dilaporkan memparasit Mezira emarginata dan M. lobata di Louisiana, Harpalus sp. Di California, Pardomis sp. di Columbia, Philonthus sp. di Maine, dan wereng daun di Costa Rica. Selain itu, Synnematium juga menyerang Pororeus simulans di Filipina, Basilides bipinnis di SierraLeone, Promecotheca bicolor di Fiji.



2.2.2 Pemanfaatan Beauveria bassiana untuk mengendalikan Helopeltis sp.

Menurut Hughes, 1971 klasifikasi B. bassiana adalah :

Kingdom : Fungi

Phillum : Ascomycota

Kelas : Hypomycetes

Ordo : Hypocreales

Famili : Clavicipitaceae

Genus : Sanurus

Spesies : Sanurus indecora

Jamur B. bassiana menyerang banyak jenis serangga, di antaranya kumbang, ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga pada tanaman atau pohon. Jamur Beauveria bassiana berwarna putih (lihat gambar), dan biasanya cukup kelihatan pada badan inangnya. Jika dilihat dengan kaca pembesar, spora jamur ini ternyata tumbuh berkelompok, sehingga berupa bola-bola spora.


Daur hidup

Jamur Beauveria bassiana tumbuh pada serangga, kemudian membuat spora (semacam biji). Spora lepas dari jamur dan dibawa angin atau air ke tempat lain. Jika spora kena serangga, bisa tumbuh menjadi jamur lagi.

Cendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiopornya. Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988). Serangga inang utama B. bassiana yang dilaporkan oleh Plate (1976) antara lain: kutu pengisap (aphid), kutu putih (whitefly), belalang, hama pengisap, lalat, kumbang, ulat, thrips, tungau, dan beberapa spesies uret. Sedangkan habitat tanamannya mulai tanaman kedelai, sayur-sayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias, hingga tanaman-tanaman hutan. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. Hunt et al. (1984) menyatakan bahwa perkecambahan konidia cendawan baik pada integumen serangga maupun pada media buatan umumnya membutuhkan nutrisi tertentu, seperti glukosa, glukosamin, khitin, tepung, dan nitrogen, terutama untuk pertumbuhan hifa (Thomas et al., 1987).

B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin (Kučera dan Samšiňáková, 1968). Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome et al. (1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. Bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus antara 60-72 jam.

Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. Bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Contohnya, aphid yang terinfeksi B. bassiana hanya mengalami pembengkakan tanpa terjadi perubahan warna.

Demikian pula tempayak lalat yang terinfeksi B. bassiana sering ditemukan secara berkelompok pada ujung-ujung rerumputan (Plate, 1976). Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan. Menurut Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian. Serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi B. Bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya. Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. Bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.

Metode

Bahan yang digunakan adalah H. antonii yang telah dikembangbiakkan di laboratorium dan B. bassiana yang diperbanyak dengan media jagung. Dua isolat B. bassiana yang digunakan masing-masing berasal dari Jombang dan Leptocorisa sp. yang terinfeksi jamur tersebut. Dua strain jamur B. bassiana yang telah diperbanyak pada media jagung ditimbang 10 g kemudian ditambahkan air 1 liter dan dua jenis perekat perata masing-masing 0,2 ml. Perekat perata masing-masing mengandung bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat serta alkil gliserol ftalat (T. E. Wahyono, 2006). Larutan tersebut selanjutnya disemprotkan pada tanaman jambu mete, ditunggu sampai tanaman tersebut kering, lalu di masukkan imago H. antonii sebanyak 10 ekor pada masing- masing tanaman lalu dikurung dengan menggunakan kurungan yang terbuat dari kain kasa. Bibit tanaman jambu mete sebagai tanaman uji berumur 6 bulan dan pertumbuhannya seragam. Bibit merupakan hasil pembibitan di rumah kaca. Perlakuan yang diuji adalah lima kombinasi strain B. bassiana dan perekat perata (Tabel 1). Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah alat semprot, tabung erlenmeyer, tabung reaksi, timbangan elektrik, pengaduk, kurungan kasa, stoples, autoclave yaitu alat sterilisasi media buatan untuk perbanyakan B. bassiana, jarum ose, serta laminar flow untuk menginokulasikan jamur B. Bassiana pada media jagung.


Parameter yang diamati dan diukur adalah tingkat kematian H. antonii setelah aplikasi dengan jamur B. Bassiana dan tingkat serangan H. Antonii pada bibit jambu mete Tingkat kematian H. antonii dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

P = ­a/b x 100 %

Ket.

P = persentase kematian

a = jumlah serangga yang mati

b = jumlah serangga yang diamati

Tingkat serangan H. Antonii pada bibit jambu mete diketahui berdasarkan pertumbuhan vegetatif yang meliputi: (a) tinggi tanaman, diukur dari leher akar sampai dengan titik tumbuh, (b) diameter batang, diukur 5 cm di atas pangkal batang dengan menggunakan jangka sorong/sigmat, dan (c) jumlah daun yang tumbuh.

2.3 Kesimpulan

Pengendalian S. indecora dan H. antonii pada tanaman jambu mete sebaiknya dilakuakan secar terpadu dengan memanfaatkan berbagai komponen pengendalian, yaitu secara fisik/mekanis, biologi dengan jamur patogen serangga Synnematium sp. dan B. bassiana. Alah satu pengan hama terpadu yang prospektif dikembangkan ialah dengan Synnematium sp. dan B. bassiana karena ramah lingkunan dan tersedia di lapangan.

Daftar Pustaka

Atmadja, W. R. 2003. Status Helopeltis antonii Sebagai Hama Pada Beberapa Tanaman Perkebunan dan Pengandaliannya. Jurnal Litbang Pertanian,22(2):57-62.

Borror, D.J., Charles A.T., & Norman, F.J.1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, Departemen pertanian. 2001. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Mete. Proyek Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat, Jakarta. 60 hlm.

Mardiningsih,T. L. 2007. Potensi Cendawan Synnematium sp. Untuk Mengendalikan Wereng Pucuk Jambu Mete (Sannurus indecora Jacobi). Jurnal Litbang Pertanian, 26(4):146-151.

Karmawati, E & T.L. Mardiningsih. 2005. Hama Helopeltis Pada Jambu Mete dan Pengendaliannya. Perkebunan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat.

Wahyono, T. E. 2006. Pemanfaatan Jamur Patogen Serangga Dalam Penanggulangan Helopeltis antonii dan Akibat Serangannya Pada Tanaman Jambu Mete. Buletin Teknik Pertanian vol. 11 No. 1: 17- 21.

Wiratno, E. A. Wikardi, I.M. Trisawa & Siswanto. 1996. Biologi Helopeltis antonii (Hemiptera;Miridae) Pada Tanaman Jambu Mete. Jurnal Penelitian Tanmanan Industri II(1):36-42.




Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Lincah.Com - Nissan Cars